Cerpen


Ha... ha... ha... Aku Gila!
Hatiku ciut mengetahui sang surya tak muncul dengan senyum cerahnya dipagi itu, awan hitam yang justru datang dengan menebar seyum pahit. Gumpalan awan hitam kian menjadi membiaskan tatapan sang surya yang hangat menentrankan. Meskipun sang surya dengan susah payah mengalahkannya namun awan-awan hitam itu ternyata lebih tak pantang menyerah. Hanya kengerian dan kecemasan yang dirasakan oleh penduduk bumi, menyaksikan peristiwa alam yang maha dahsyat.
“Duh Alloh...! rahasia apa gerangan yang Engkau akan tunjukkan kepadakau”. Gumamku dengan takut dan cemas.
Aku bersicepat membersihkan tubuhku, tak tahan oleh dinginnya suhu pagi, tubuhku nyaris menggigil, perutku melilit menahan dinginnya suhu. Padahal waktu telah menunjukkan waktu pukul 06:15 WIB, seharusnya sang surya telah menghangatkan bumi, menyinari penduduk bumi, menyebarkan cahaya kehidupan bagi penduduk bumi, tapi tidak untuk pagi itu. Tampaknya sang surya tampaknya sang surya tak mampu menerobos gumpalan awan hitam itu.  Begitu engan rasanya aku memulai rutisnitasku, andai saja hari itu aku tak ada janji dengan beberapa konsumen sebelumnya, tentu aku akan lebih memilih untuk menarik selimut kembali dan meneruskan mimpi indah yang sempat terpotong. Hari semakin siang namun sang surya belum juga berhasil menerobos gumpalan awan hitam itu, suhu masih terasa sangat dingin.
“Ah... mungkin akan turun hujan lebat”. Desahku.
Ternyata aku salah memprediksi, hujan tak turun juga melainkan langit tampak semakin gelap, bahkah jarak pandang pu hanya sekitar 10 meter ke depan, lebih dari jarak tersebut tak tampak dengan mata telanjang, bahkan lampu kabut pada kendraan bermotor pun tak begitu membantu.
Segera kuselesaikan pekerjaan yang sempat tertunda, dalam dingin yang menusuk. Kepuasan konsumen sangat kuutamakan, apapun kendalanya akau selalu berusaha untuk menyelesaikan tepat waktu atau sesuai dengan perjanjian demi menjaga kepercayaan dari konsumen. Aku tak ingin konsumen karena merasa kurang puas dengan pelayanan yang kuberikan.
Secangkir kopi panas menemaniku, mengurangi rasa dingin yang kian menusuk. Ah... andai saja aku memiliki patner kerja tentu perkerjaanku akan lebih ringan dan aku akan lebih rileks, sayang aku belum mampu untuk menggaji karyawan, penghasilanku baru cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hariku saja. Desahku.
Meski awan-awan hitam itu tak pernah menyerah menghalangi sang surya yang terus berjuan menyebarkan sinar kehidupan bagi seluruh penduduk bumi, tidak sedikitpun mampu menghambat jalannya peredaran waktu walau hanya sepersekian detik, buktinya jarum jam yang dipercaya sebagai penunjuk waktu terus berputar dari detik ke menit, dari menit ke jam tanpa terpengaruh oleh awan-awan hitam itu. Aku menyadari hari sudah tidak pagi lagi, meskipun langit masih tampak gelap dan hawa dingin masih menusuk kulitku namun jam telah menunjukkan pukul 12:05, tepatnya sudah tengah hari.
Langit mulai membiru meski belum sempurna, kabut tebal berangsur-angsur menghilang. Aku menarik nafas lega. Rupanya sang surya telah berhasil mengalahkan awan-awan hitam yang menghalanginya. Dingin masih terasa hanya saja tak sedingin pagi tadi. Jaket tebal masih melekat tubuhku, membantu menstabilkan suhu tubuhku. Beberapa pekerjaan telah kuselesaikan. Handphone-ku berdering ketika kuberniat untuk beristirahat. “ah... ada SMS masuk”. Gumamku ketika mendengar nada pesan diterima dari handphone-ku.
Kuraih handphone yang tergeletak tak jaun dari meja komputer yang tengah kuoperasikan. Benar saja satu pesan diterima, muncul di layar handphone. “dari siapa?”. Tanyaku membatin.
“Oo... ternyata dari D, ada apa dengan D”. aku segera membaca pesan itu.
“A tolong hubungi D sekarang juga, penting!!!”. Demikian kira-kira isi pesan itu. “ada apa?”. Hatiku bertanya-tanya. Untuk memjawab pertanyaan itu aku segera menghubungi nomor tersebut.
“Assalamu’alaikum...” sahutku menhawali pembicaraan
“Waalaikum salam...” jawab D terisak.
Kontak, aku menangkap firasat buruk dari kenyataan itu, aku merasa hal inilah yang menjadi penyebab kegelisahanku sejak tadi pagi.
“D... ada apa?”. Tanyaku tak kuasa menyembunyikan rasa penasaran.
“A...!!!”. tangis D semakin menjadi mebuatku semakin gelisah dan penasaran
“ada apa D?”. aku mengulang pertanyaan. D terdiam, akupun akhirnya terdiam memberi kesempatan pada D untuk menenangkan diri.
“A...!!!”.
“Iya sayang, ada apa?”. Tanyaku semakin penasaran.
“D, nggak kuat lagi, D nggak mau terus-terusan seperti ini”. Ucap D masih terisak.
“ada apa, nggak kuat kenapa?”. Aku semakin tak mengerti.
Tangis D semakin menjadi, aku tak bisa menebak beban apa kiranya yang tengah D tanggung hingga tampak sedemikian sedih. D pun sejauh ini belum mengatakan apapun kepadaku, hanya isak tangis yang mewakili kesedihan dan kepedihan hatinya. Aku tak mungkin mendesak dan memaksa D untuk segera mengungkapkan penyebab kesedihan itu. Aku hanya diam menanti dengan sabar, apa sebenarnya yang membuat D sedih seperti itu.
“A... D baru saja dimarahi sama ortu”. Ucap D mulai agak tenang.
“kenapa D, pasti gara-gara A...?”. aku mencoba menebak
“D nggak kuat A..., nggak kuat lagi...”.
“Iya... nggak kuat kenapa, tolong jelaskan ke A, jangan membuat A mati penasaran seperti ini”. Ucapku memelas.
“hik... hik... hik..., mamah A...!, mamah...!”. suara D terdengar tersendat-sendat diantara isak tangisnya.
Aku sendiri terlarut dalam kesedihan itu, walau sama sekali aku belum mengetahui biang permasalahannya. Mungkin beban itu terlalu berat bagi D sehingga bibirnya kaku untuk mengungkapkannya padaku. Ah... andai saja saat ini aku tengah berada di sampingnya tentu telah kuhapus air matanya, kubelai rambutnya, atau kubiarkan D menangis dalam pelukanku, sayang aku tak dapat melakukan semua itu. Pikirku terus berkecamuk.
“A... ternyata kemarin mamah, mengikuti kita, mamah tahu kalau kemarin kita ketemuan dan jalan bareng, D dimarahi habis-habisan sama mamah dan ayah, D nggak tahu harus gimana A, sekarang D sedang di kamar, nggak berani keluar”. Jelas D padaku. Tampaknya ia berusaha menenangkan diri, suaranya masih tersendat-sendat.
“gimana ceritanya, kok mamah sampai tahu?”
“katanya kemarin mereka ngikutin kita sejak dari lampu merah yang arah ke rumah D”.
“meraka...!, emang siapa saja yang ngikutin kita?”
“ya... mamah, ayah, sama teman-teman mamah. Katanya mamah malu sama teman-teman mamah karena mereka tahu kalau A’ nggak nganterin D ke rumah melainkan cuma sampai ke gang saja”. Ucap D menjelaskan.
“Tuh kan ...! coba kalau kemarin D mau dianterin ke rumah sama A’, mungkin kejadiannya nggak akan seperti ini”.
“orang D nggak tahu kalau kemarin kita diikuti oleh mereka, coba kalau D tahu...”.
“sudah lah D, gak perlu disesali semuanya sudah terjadi. A minta maaf atas semuanya. Kalau D mengijinkan sekarang juga A ke rumah D. A nggak rela kalau hanya D sendiri yang menanggung semua ini, tentunya semua ini terjadi karena A, gara A...”. ucapku memotong.
“jangan A... jangan!, A jangan ke rumah, karena itu akan membuat suasana semakin kacau. D mohon A jangan ke rumah”. Ucap D penuh harap.
“Tapi D....!”
“untuk sementara jangan hubungi D dulu, jangan telpon atau SMS dulu ke D, apalagi kalau D sedang ada di rumah, please A!”
“D...!”. Suaraku tersekat di kerongkongan seolah kehabisan kata-kata.
“maaf kan D... D udah nggak sanggup lagi”.
“D...!”
D menutup telpon tanpa menunggu jawaban dariku. Aku benar-benar terpukul dan merasa bersalah dengan kejadian itu. Jelas-jelas D telah menjadi tumbal atas kebahagiaan yang kami rasakan berdua. Kenapa harus D?, kenapa bukan aku saja yang menaggung semua ini, ini semua gara-gara aku, semua salahku”. Aku membatin penuh sesal.
Kuhempaskan pantatku begitu saja di atas kursi di ruangan itu. Batinku menjerit namun tak ada seorangpun yang mendengarnya. Langit tampak meredup seolah mengucapkan turut berduka cita untukku. Aku tak tahu gerangan apa yang harus kulakukan untuk mengembalikan kebahagiaan dan keceriaan ini. Di sini, di ruangan ini, di tempat kerjaku aku duduk sendiri, duduk untuk meratapi nasib dan menyesali diri.
Kuraih handphone-ku, maksudku untuk menghubungi D, aku belum puas dengan penjelasan D, tapi hatiku berbisik untuk mengurungkan niat itu, hatiku mengingatkan akan ucapan D yang memintaku agar tidak menghubunginya sementara waktu. Lalu kuketakkan kembali handphone itu. Aku tap tak beranjak dari tempat duduk hingga ku tak menyadari saat sang surya telah kembali ke peraduan meninggalkan diriku sendiri dalam sepi.
Aku tak kuasa membayangkan betapa hancurnya perasaan D saat ini, betapa sedihnya D, mengurung diri dalam kamar menjadi pilihannya, menutup diri daris sesuatu yang dapat menambah kepedihan hatinya. “Duhai Alloh... betapa berdosanya diriku telah membiarkan seseorang menderita karena ulahku. Kenapa...?, kenapa hanya dia ya Alloh yang menangung semua ini, kenapa... kenapa ya Alloh”. Ini sangat menyakitkan bagiku hingga tak ada kata-kata yang dapat mewakili rasa sakitku.
Inikah akhir kisahku, inikah skenario terakhirku, akankah cerita ini berakhir di sini, ketika cinta sedang seru-serunya, saat bunga-bunga cinta tengah bermekaran dalam taman hatiku. Aku belum bisa menerima semua ini, aku belum siap untuk kehilangan D, untuk berpisah dengan D. waktu begitu cepat bergulir, tak peduli apa yang tengah terjadi denganku, suka dan duka berganti silih.
“D... sedang apa engkau saat ini, masihkah engkau mengurung diri dalam kamar, masihkah engkau menangis, maafkan A sayang... maafkan A, A lah pernyebab semua ini”. Aku terus memikirkan D hingga kepalaku terasa berat dan dunia sekaan berputar-putar.
“D... kenapa D tak sekalipun menghubungiku?”. Aku tak berani menghubungi D karena D telah memintaku untuk tidak menghubunginya, sementara D sendiri tak pernah menghubungiku, padahal aku ingin mengetahi perkembangannya, aku ingin mendengar kabar-kabar dari D. andai D hingga saat ini masih mengurung diri dalam kamarnya, akupun hingga saat ini masih mengurung diri dalam kesendirian, seluruh energiku telah habis untuk memikirkan D.
Mengapa harus seperti ini, baru saja bunga-bunga cinta bermekaran dalam hati kami, kini menjadi layu, layu sebelum masanya. Seluruh harap dan asa terhempas begitu saja, terhempas oleh badai derita yang sangat dahsyat, badai yang datang begiti mendadak sehingga aku tak kuasa untuk mengelaknya, dan tak mungkin aku dapat menghindarinya.
Derum kendaraan bermotor yang memekakan telinga, terik sang surya yang membakar tubuhku dan menggosongkan tubuhku, gunung Ciremai yang menjulang tinggi yang kata orang bikin betah memandangnya, semilir angin sepoy yang juga kata orang menyejukkan, sama sekali tak berbengaruh bagiku, bagu jiwaku yang merana, bagiku tak ada gunung Ciremai, tak ada matahari, tak ada derum kendraan, tak ada angin sepoy, yang ada hanyalah kesedihan, kesepian, kegundahan, dan penyesalan.
Aku berjalan gontai, menyusuri jalan yang bagiku terasa sepi, mengikuti langkah kaki dan gerak hati, berjalan dan terus berjalan dengan maksud nan tak pasti. Menjauh-menjauh dari kepedihan yang menyayat hati. Persetan dengan tatapan heran milik orang-orang di sekitarku, kubiarkan saja mereka membicarakan, memperdebatkan tentang aku, aku tak peduli.
Batin semakin tersiksa... ketika aku gagal untuk menghubungi D, gagal membuat janji untuk bertemu dengan D dua hari yang lalu sementara tak ada berita dari D, aku memutuskan untuk pergi, pergi sejauh mungkin menghindari segala sesuatu yang dapat mengingatkanku kepada D, aku ingin melupakannya, aku ingin menyingkirkan seluruh kenangan pahit itu dari memoriku, dari pikiranku, dari sanubariku, ironisnya kenangan itu bukanya hilang, justru semakin melekat dalam benak, menusuk-nusuk dalam kalbu yang membuatku semakin larut dalam pilu.
Taqdir... taqdir...! iniakh taqdirku?. Begitu tragis kisahku, betapa tragis taqdirku. Oh... taqdir mengapa kau rampas kebahagiaanku, mengapa kau rampas semua anganku. Batinku terus menjerit, menjerit menyayat hati karena luka hati yang kian menjadi.
Tiada lagi harapan dalam benakku, tiada lagi semngat dalam diriku. Taqdir... kenapa tak sekalian saja kau ambil nyawaku, untuk apa dahulu kami kau persatukan, untuk apa kau biarkan taman-taman cinta bermekaran dalam hati kami jika pada akhirnya kami kau pisahkan, kau hancurkan aku. Aku terus berjalan tanpa tuju dengan tak henti-hentinya menyalahkan sang taqdir. Aku merasa taqdir telah bertindak tak adil, telah merenggut semua anganku. Kubiarkan begitu saja anak-anak kecil yang menyorakiku gila, bahkan membiarkan saja mereka melempariku dengan batu-batu kecil, atau apa saja yang dapat mereka gunakan untuk melempar karena menganggapku gila. Toh aku memang sudah gila. Peristiwa menyedihkan ini telah membuatku gila.
“ha...ha...ha...! aku gila... aku gila...!”. tawaku menahan kepedihan menanggapi anak-anak kecil yang menyorakiku gila.
“orang gila, orang gila, orang gila...” sorak anak-anak itu tanpa perasaan .
Kuraih batu-batu kecil yang berserakan di tepi jalan, kulemparkan batu-batu itu sekenanya ke arah mereka, mereka yang menyorakiku gila.
“ha...ha...ha...”. aku tertawa puas ketika salah satu lemparanku mengenai salah seorang dari mereka, mereka berlari menjauh dengan terbirit-birit, sambil tak henti-hentinya meneriakiku si gila. Aku tak peduli... tak satupun manusia ini yang peduli, peduli terhadap penderitaanku.
Aku tak tahu pasti sudah berapa lama hidup menggelendang, tidur beratapkan langit, beralaskan tanah, dan berselimutkan awan. Aku tak lagi pernah berpikir tentang kuliahku, tentang masa depanku, hingga suatau hari tubuhku tergeletak tanpa daya di tepi pantai. Pantai Ade Irma. Pantai Ade Irma yang telah meninggalkan kenangan, kenangan indah yang pernah kulalui bersama D. Kini taqdi rmenyeretku kembali ke tempat ini. Tiba-tiba saja bayanagn D menari-nari di depan pelupuk mataku, membayang dalam benak, meremas-remas kalbuku yang telah terluka. Tapi tidak, tidak ada D di sampingku, tidak ada keceriaan di sini. “kenapa... kenapa, kenapa aharus berada di tempat ini, ini menyakitkan, ini membuatku semakin gila”. Rutukku dalam pilu.
Aku hanya berdiri mematung memandangi anak-anak nelayan yang berlari ceria, di sebelah sana, di tempat dulu aku duduk berdua dengan D menikmati pemandangan pantai nan permai, aku menyaksikan sejoli yang tengah memadu kasih membuat kegetiran makin menjadi. Kugenggam pasir pantai itu lalu kuremas penuh dendam, dendam cinta yang kian membara tanpa sasaran untuk melampiaskan, kulempar sekuat tenaga pasir itu, kulempar bersama api dendam yang berkobar-kobar.
“Tidak... tidak... aku tidak gila, aku tidak gila!”. Jerit hatiku memekik. “Aku hanya stres, stres, stres. Ya... ya... stres, ha... ha... ha... stres, tapi... tapi kenapa orang-orang meneriakiku sigila, tidak !!! aku tidak gila... kamu yang gila, kamu yang tidak waras, kamu telah merampas kebahagiaanku, aku tidak gila, kamu yang gila”. Teriakku pada anak-anak yang menyebutku gila. “ha... ha... ha... aku gila, aku gila!, bukan, bukan, aku tidak gila, ha... ha... ha... aku hanya... hanya... tergila-gila, seperti orang gila”. Aku memandang tubuhku sendiri yang kumal tak beraturan, lalu kucium bau tubuhku sendiri yang entah sudah berapa minggu tak tersiram air. “bau...!, bau!”. Bau badanku sangat menusuk, aku mirip orang gila, telah menjadi gila... kuraih buntalan kumal berisi baju-baju nan setia menemaniku, ku kalungkan pada leherku.
“hari itu, dulu, aku tak tahu pasti tepatnya kapan ketika aku mulai melangkah...” aku mencoba mengingat asbab sehingga aku terdampar di tempat ini, di Pantai Ade Irma. Saat itu pikiranku kalut tak menentu, aku hanya membawa dua stel pakaian dan satu buah sarung serta beberapa lembar uang, yang saat itu aku merasa memasukkan semuanya ke dalam sebuah tas gendong, dan ternyata... aku tidak memasukkan semua itu ke dalam tas, aku memasukkan baju-baju, sarung, dan uang lembaran itu pada buntalan kain sarung, nyaris seperti orang gila yang tak pernah terlepas dari buntalan sampah yang selalu menemaninya. Ha... ha... ha... pantas mereka, anak-anak itu meneriakiku si gila, aku memang gila”. Aku tertawa getir.
Aku pergi tanpa tujuan untuk melupakan kejadian yang menyakitkan itu. Aku pergi untuk mengubur semua harapan yang telah kandas, kandas begitu saja karena taqdir telah merampasnya dariku, orang-orang, teman-teman, tak seorangpun yang tahu tentang kemelut yang tengah kuhadapi, dan aku pun tak pernah menginginkan mereka untuk mengetahuinya, jiwaku tak kuat menanggung cobaan ini, sehingga berontak, memilih pergi... pergi sejauh mungkin, menghapus lembar-lembar suram dalam kamus kehidupanku, aku ingin melupakan D dan kenangan yang berkaitan dengannya dari memori ingatanku, namun tidak... tidak... aku ternyata tak mampu untuk melakukannya, justru taqdir kini telah menyeretku ke sini, ke pantai ini, Ade Irma yang dulu telah mengukir kenangan indah bersama D untukku dan untuk D dan kini kenangan itu kembali melayang-layang dalam benakku. Taqdir... taqdir. Aku hanya bisa merutuk dan menyalahkan taqdir, aku menganggap taqdir itu tak adil kepadaku.
Aku tak mampu melukiskan keindahan ciptaan sang maha pencipta, lukisan alam yang saat ini terpampang di depan pelupuk mataku, lembayung kuning tak lagi mampu menentramkan hatiku, desir angin tak lagi mampu menyejukkan hatiku. Burung-burung laut beterbangan tak jauh dari tempatku berdiri seolah bertanya tentang aku, atau mungkin justru mengejekku, mentertawakan atas kebodohanku, “mereka benar-benar tak punya perasaan!”. Rutukku. Kuraih segenggam pasir lalu kulemparkan pada burung-burung itu namun tak sebutir pasirpun yang mengenai salah satu diantara mereka, mereka tetap terbang di sekitarku tanpa mempedulikan diriku, tanpa menoleh sedikitpun kepadaku.
Duhai Alloh... kepada siapa keluh kesah ini kuadukan, makhluk mana yang mampu memberi jalan keluar dari derita ini, manusia mana yang sudi mendengarkan dan memahami kemelut di hatiku ya Alloh...!, kemana aku harus melangkah membawa beban derita ini ya Alloh, aku sudah tak sanggup lagi. “sabar... sabar... sabar!” . suara hatiku menyuruhku untuk bersabar, tapi aku telah bersabar, lalu mana hasilnya, aku semakin ambruk, semakin rapuh, tidak adakah cara lain yang dapat mengakhiri kemelut ini selain sabar, sabar, dan sabar?”. Aku tak mampu menjawab pertanyaan yang kulontarkan sendiri dan aku pun tetap diam. Duhai Alloh ampunilah aku yang telah menyia-nyiakan amanat cinta yang Kau anugerahkan kepadaku, ya Alloh berilah aku kekuatan, berilah aku petunjuk, di sini, di tempat ini aku bersimpuh di hadapan-Mu, mengharap belas kasih-Mu, ya Alloh... aku bersujud menghinakan diri di tepi pantai yang semakin sepi.
Sang dewi malam mulai menampakkan wajahnya, senyumnya mengembang menyapa seisi jagat, sama sekali ia tak mengetahui kemelut yang bersarang di hatiku. Kubalas  tatapannya dengan senyum hampa. Ingin kuungkapkan semua kepedihan ini pada sang dewi malam, saying tak kan pernah ada jawaban. Kubiarkan cahaya rembulan menerpa wajahku yang kusam, mengelus-elus rambutku yang kumal. “Duhai dewi malam bantulah aku, tolonglah aku!”. Ratapku pada sang dewi malam, namun tetap sepi tak ada jawaban.
Sentuhan sang dewi malam terasa lembut menyejukkan, bagaikan belaian tangan ibu yang penuh cinta. “Ah… sedang apa ibu, maaafkan ananda ibu!”. Desahku. Tiba-tiba saja aku teringat ibu, sudah lama tak jumpa dengan ibu. “Ibu… kenapa nanda harus menderita seperti ini, kenapa ibu, kenapa harapan nanda harus kandas di tengah jalan, taqdir telah mempermainkan nanda ibu, nanda tak kuat menahan derita ini ibu…, nanda benar-benar tidak kuat ibu… salah apa aku ini ibu, dosa apa yang telah nanda perbuat sehingga nanda harus menangung semua ini ibu…!. Duhai ibu, nanda rindu, nanda rindu belaian tangan ibu yang penuh kasih, nanda rindu belaian cinta ibu”. Aku mengharap ibu berada di sisiku dan aku berlabuh dalam pelukannya. Tanpa dapat kubendung air mata menetes dari sudut mataku.
Malam tak lagi bersahabat, langit semakin gelap, sang dewi pun telah pergi, pergi mennjauh dariku, meninggalkanku dalam sepi, akupun pergi menjauh membawa luka hati yang juga belum menghilang.
Perutku meronta, menjerit-jerit menagih jatah, manakala kumelihat sepotong roti tergeletak tanpa tuan, atau mungkin sengaja dibuang oleh tuannya di sekitar warung lesehan yang kini telah sepi, tanpa pikir panjang lagi segera kuraih roti itu. Aku tak peduli… aku bersicepat memasukan potongan roti itu kedalam mulut lalu mengunyah dan menelannya hingga tak bersisa, namun perutku masih saja meronta, rupanya sepotong roti itu tak cukup untuk menghentikan jeritan cacing-cacing dalam perutku. Aku mengitarkan pandangan pada sekeliling tempat itu, lalu aku berjalan mengelilingi kios-kios di tempat itu, dengan harapan menemukan potongan roti yang lain, atau apapun yang bisa dimakan. “Sial…!” gerutuku. Aku tak menemukan apapun yang bisa kumakan, kutendangi kaleng-kaleng dan botol-botol bekas air mineral yang berserakan di sekitar kios untuk melampiaskan kekesalan yang entah pada siapa. Tak kuasia-siakan lagi tatkala aku menemukan botol air mineral yang masih berisi setengahnya, dan kureguk hingga tandas, lalu kulempar sekuat tenaga botol air mineral tersebut.
Malam semakin larut, kantukpun semakin menyerang, kurebahkan tubuhku di atas dipan tempat pedagang kaki lima menjajakan makanan atau barang dagangan di tempat itu, hingga terlelap dalam buaian tangan rembulan, berselimutkan angin, berbantalkan buntalan kumal yang setia menemaniku.
Sayup-sayup terdengar suara adzan dari mesjid tak tauh dari tempatku tergeletak menghabiskan malam, jiwaku bergetar hebat, air matakuberderai tak tertahankan. Aku sendiri tak tahu penyebabnya, air mata itu tiba-tiba saja berderai ketika suara adazan membangunkan tidurku, menyadarkanku dari mimpi. Tanpa banyan berpikir ini dan itu aku bersicepat meninggalkan tempat itu, bergegas menuju WC umum di sekitar pantai. Kubuka buntalan kain sarung kumal yang senantiasa menemaniku dalam perjalanan tak berujung ini, kukeluarkan isinya, aku bersegera menganti pakaian, sementara pakaian yang biasa melekat pada tubuhku kulipat kembali, lalu kumasukkan ke dalam kantung plastic yang kutemukan dari tong sampah yang tersedia di tempat itu.
Suara adazan telah meluluhkan keangukuhanku, menyeretku perlahan dan halus menuju rumah Alloh yang telah lama jauh dari ingatanku. Sudah lupakah aku akan Allohku, akan than pemilik kekuatan. Kubasuh wajahku, kedua tanganku, sebagian rambut yang tumbuh di kepala dan kedua kaki hingga mata kali dengan air wudlu. Kulangkahkan kaki dengan ragu menuju rumah Alloh nan maha suci, kudapati sholat subuh hamper dimulai, segera kubermakmum dibelakang imam, kucoba mempokuskan seluruh pikiran, kulupakan semua keluh kesah dan kepedihan di hatiku, kehadirat Illahi kurendahkan diri, kuhinakan diri sehina-hinanya didapan-Nya, karena hanyalah milik-Nya segala kemuliaan.
Mencoba mentafakuri diri, mengenangkan penyebab kepedihan yang juga belum berlalu dari dalam hatiku. Duhai Alloh… betapa aku telah menyia-nyiakan jatah waktu yang telah Engkau berikan kepadaku.
Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, keculai orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan saling berpesan dengan kebenaran dan saling berpesan dengan kesabaran.
“Betapa telah meruginya diriku ya Alloh…, ampunilah dosaku ya Alloh yang telah mendzolimi diriku sendiri, ampunilah diriku yang hina ini ya Alloh”. Ratapku penuh penyesalan. Kubulatkan tekad, kutetapkan langkah untuk mengakhiri derita ini, mengakhiri perjalanan sia-sia ini. Akulah penyebabnya, penyebab semua derita ini, bukan siapa-siapa, tapi aku, aku yang terlalu lemah menghadapi kenyataan, kenyataan pahit kehilangan kekasih tercinta. Detik ini pula aku akan mengakhirinya, ini bukan diriku, aku harus menjadi diriku sendiri. Kutinggalkan rumah Alloh, sejenak, kulantunkan sholawat atas nabi, kukenangkan perjuangan dan jasa Rosulullah dalam menyebarkan Islam pada masanya, lalu aku melangkah pasti menuju tempat tnggalku.
Elf jurusan Cirebon – Kuningan mengantarkanku menuju rumah tempat tinggalku, untuk keduakalinya ku tinggalkan pantai Ade Irma dengan berbagai kenangan yang terukir di sana, tercatat dalam sanubariku. Kuhempaskan pantatku di atas jok lalu kusandarkan kepala, sedikit kubuka kaca jendela kusaksikan pohon-pohon, rumah-rumah tiang listrik saling bekejaran seolah akan mengucapkan selamat jalan kepadaku, sementara aku hanya senyum, yang aku sendiri tak tahu apa arti dan untuk siapa senyuman itu kulemparkan.
“Selamat tinggal masa lalu, selamat tinggal hari-hari kelabu…!!!”
Aku bersicepat mencari angkot ketika elf yang kutumpangi telah tiba di terminal Kuningan. Ya… dengan angkot itulah aku rumah.
Langkahku tertahan, tak kuat rasanya untuk menginjakkan kaki dan memasuki rumah itu, rumah kakek dan nenek ku yang selama ini telah menjadi tempat tinggalku. Apa kata kakek dan nenek, betapa akan marahnya mereka kepadaku, aku meninggalkan mereka, tanpa kabar apapun. Ah… apapun yang terjadi aku hars siap, salahku sendiri kenapa harus kabur, harus minggat. Aku mencoba meneguhkan diri.
Sama sekali tak kuhiraukan sapaaan dari tetangga, dan teman-teman yang mengetahui kedatanganku. Aku tak peduli terhadap mereka, aku mempercepat langkah agar segera sampai di rumah, aku rindu kakek dan nenek, aku ingin segera memohon maaf terhadap mereka, kepada nenek dan kakekku terutama. Kubiarkan saja mereka – teman-temanku, para tetanga atau siapapun mereka yang melempar tatapan heran dan penuh Tanya terhadapku.
Diluar dugaan aku disambut dengan suka cita oleh nenek dan kakek, meski tak luput dari berbagai pertanyaan yang juga menyambutkedatanganku. Tidak… tidak satupun pertanyaan yang aku jawab. Yang aku lakukan hanyalah minta maaf pada mereka dan Alhamdulillah  mereka memaafkanku dengan tulus tanpa pernah menuntut jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan.
Akhirnya aku dapat bernafas lega…

Komentar

Postingan Populer